Scroll Top

Bangku Kosong

“Loh, sendirian aja, Mas?” seorang pramusaji, sembari memberikan daftar menu, bertanya dengan dahi yang berkerenyit. Aku menatap ke seberang meja. Di sana tak ada lagi dia yang biasanya diam berpangku dagu seolah segala kata, rindu dan apalah entah dapat diejawantahkan dengan diam belaka.”Iya, Mbak” aku tersenyum sembarang, memesan kentang goreng dan frozen hot chocolate tanpa merasa perlu melihat menu, “dan berikut-berikutnya juga sendirian” lanjutku pelan. Ia tersenyum, dengan tulus, membacakan kembali pesananku sebagai prosedur pelayanan dan memastikannya tidak salah. Aku mengacungkan jempol sebagai tanda kesepakatan. Setelah ia pergi, aku membuka laptop. Menutup mata sekejap, menghela nafas. Dan kemudian sebuah cerita kutulis.

***

Aku harus siap dan terbiasa untuk tidak beristirahat siang terlalu lama, menghindari ingar bingar demi sebuah rasa tenang. Sendirian. Meski sebenarnya aku diam seperti biasa pun sekarang aku tetap sendirian. Di sana, di bangku taman tempat kami bercengkerama, dalam rentang waktu satu tahun terakhir satu persatu bangku telah kehilangan pemiliknya. Gelas-gelas berputar lebih cepat, akumulasi asap yang terkepul sudah menjadi sedemikian bias. Tak ada lagi tawa penghidupan. Besok lusa, bangku-bangku itu akan benar-benar kosong. Aku tak perlu lagi menghindar. Karena ke manapun aku akan benar-benar sendirian.

Ketika situasi sudah tidak menyenangkan kita memang hanya dihadapkan pada dua pilihan. Pergi atau diam hingga membusuk sendirian. Aku tidak mau membusuk di sini, bertahan menunggu mati. Namun sekarang aku belum bisa pergi. Sayang sekali.

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh para pengganti. Kecuali satu, yang aku mau menemuinya saban perlu. Untuk sekadar berdiskusi panjang di sudut ruang, saling sepakat meski berdebat, berpangku dagu meski tak perlu, lalu tertawa di tengah-tengah kalimat saling hina. Untuknya, meski di tempat yang berbeda, ada bangku yang tersedia untuk kami, aku dan dia, berbagi waktu. Berdua, untuk membicarakan tiga atau lima atau apapun asal bisa tetap bercerita sampai waktu pulang tiba. Namun, kemarin senja, satu genggaman tangan hangat mengiringi sebuah kehilangan yang kembali harus aku rayakan. Sang pengganti pergi, sebelum benar-benar ada cerita.

Bangku itu kembali kosong. Kini di hampir semua sisi.

Aku pernah bercanda, menghina banyak sekali di antara mereka, dengan jumawa: aku tidak pernah patah hati. Maksudku, dalam banyak sekali hal, aku tidak pernah benar-benar memiliki pengalaman bagaimana menyebalkannya kehilangan ketika ditinggalkan. Untuk urusan cinta apalagi. Aku selalu hidup dalam sebuah kisah yang paripurna. Jika pun sebelumnya ada perpisahan, itu hanya akibat dari sebuah kesepakatan belaka. Damai, tanpa perlu sedikitpun merasa kehilangan.

Dan karena keangkuhan itu, Tuhan menegurku melalui sebuah canda kehidupan. Sekali lagi, satu-persatu teman terbaik pergi. Meninggalkanku di tengah taman yang lenggang, duduk sendirian di antara bangku-bangku yang kosong. Dan beginilah mungkin rasanya patah hati. Sialan. Ternyata sedemikian menyebalkan.

Aku tak mau merasakannya lagi

***

Epilog

Aku mengangkat tangan. Memanggil pramusaji untuk segera menyiapkan tagihan.

Jam istirahat telah habis sedari tadi. Peduli setan dengan omelan yang akan kudapat ketika aku masuk nanti. Aku sengaja mengulur waktu demi menyelesaikan cerita yang sedang kutulis. Tidak terlalu baik, masih ada beberapa bagian yang harus aku ubah. Menyederhanakan kalimat, menambah atau menghapus beberapa bagian agar ceritanya lebih menarik. Meski karangan belaka aku selalu berusaha membuat cerita yang kubuat itu tampak nyata. Dan terutama, aku belum menemukan judul yang pas untuk tulisan ini.

Pramusaji yang kupanggil tadi datang dengan sebuah tagihan yang terselip di antara wadah kulit. Aku mengenalnya. Ia yang selalu datang melayaniku di beberapa kesempatan setiap kali aku datang ke sini. Aku mengajaknya berbicara sembarang sembari mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dompet.  Ia pergi untuk menukar pembayaranku dengan uang kembalian.

“Ini mas, terima kasih” ia menyerahkan sisa pembayaran. “Besok-besok, temannya di ajak lagi, Mas. Aneh juga ngeliat mas di sini tapi bangku depannya kosong” katanya mengulang pembicaraan di awal tadi.

Aku sekali lagi tersenyum. Kali ini untuk dua hal. Satu, untuk permintaannya yang sebenarnya sudah kujawab tadi. Kedua, untuk perkataannya yang membuatku menemukan ide untuk judul tulisan yang baru saja kubuat.

Bangku kosong.

Related Posts

Comments (4)

Aku dan kau, dan mungkin juga mereka. Kita tak jauh beda 😂😂

Tulisannya gak enak amat dibacanya.

Wah terima kasih mas sudah jujur 🙂

[…] tidak terlalu menjadi masalah. Karena berada di birokrasi pengajuan yang berbeda, selama masih ada bangku kosong pesawat yang bisa dipesan dan ada kamar yang sudi untuk saya inapi. Kasarnya, meminta tiket tiga […]

Leave a comment