Scroll Top

Sepatu

Salah seorang pesohor di media sosial membuat sebuah kliping, potongan gambar berita daring, yang merekam sepak terjang perjalanan Sang Gubernur Ibukota dan, tentu saja, wakilnya semenjak pertama kali mereka menjabat sampai hari ini dan sampai kapan entah. Sebagian berita sempat saya baca utuh, untuk kemudian saya tertawa bahak (atau malah kesal bukan main) sebagian yang lain hanya saya baca judulnya saja untuk kemudian menggeleng heran. Dari banyak hal satu yang paling saya ingat adalah tentang keengganan Sang Wakil menggunakan sepatu pantopel sebagai alas kaki untuk ia berangkat kerja. Untuk kali ini saya ingin mengangkat tangan lima jari tinggi-tinggi kemudian berujar: “Bang, tos donk kita!

Semenjak saya dipindahkan kerja ke kantor pusat saya dihadapkan pada serangkaian peraturan yang lebih ketat. Terutama, yang paling menyebalkan, dalam hal berpenampilan. Ketika di kantor cabang sebelumnya, saya bisa berangkat ke tempat kerja menggunakan kaos polo berkerah, celana jeans dan ditambah sendal selop belaka. Penampilan yang cukup membuat orang bertanya-tanya ‘ini kerja kantoran atau jaga toko, sih?’. Tapi tidak dilarang dan saya suka. Sedangkan di kantor pusat, sesuai dengan peraturan yang kerap kali didengungkan, berpenampilan haruslah sopan dan formal. Sopan dalam hal ini diejawantahkan melalui kemeja, celana bahan dan sepatu pantopel. Saya menggaruk kepala yang tidak gatal membayangkan akan se-badut apa saya dengan busana kerja yang formal. Dan kemudian saya melalui masa yang menyebalkan di bulan-bulan awal kepindahan saya ke kantor pusat.

Saya tidak terima, tidak nyaman dengan apa yang saya kenakan. Maka saya mulai melakukan beberapa improvisasi.

Sedikit demi sedikit penampilan saya berevolusi kepada bentuk yang semestinya. Kemeja saya keluarkan dari dalam celana. Tidak masalah. Mengganti kemeja bahan pada umumnya dengan kemeja flannel, tidak masalah. Mengganti celana bahan dengan chino, tidak masalah. Sesekali menggunakan celana jeans berwarna hitam. Tidak masalah. Mengganti sepatu pantopel dengan sepatu kets. Saya dipanggil ke ruang HRD. Sialan.

Saya luar biasa senang ketika berhasil menyusup ke dalam kelompok orang-orang yang istiqomah menggunakan kombinasi penampilan kerja yang kolot dengan balutan kombinasi flannelchino. Sebuah prestasi individu yang layak untuk dikenang. Dan sepatu kets adalah pelengkap yang paripurna. Namun, apabila sepatu kets benar-benar dilarang, saya kehabisan akal, dan pantopel tidak akan pernah bisa menjadi sebuah jawaban.

Tuhan akan memberikan jawaban atas pertanyaan umat-Nya dengan cara yang kadang di luar logika.

Pernah suatu waktu, saya memberikan sedikit pelatihan kepada tim yang bekerja di lapangan. Pelatihan yang saya berikan ketika itu salah satunya berkaitan dengan keselamatan kerja. Dijelaskan dalam peraturan perusahaan, bahkan sampai perundang-undangan, bahwasanya untuk mereka yang bekerja dilapangan, penggunaan alat keselamatan kerja adalah suatu kewajiban lain selain dari menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demi mencegah hal-hal yang berpotensi menimbulkan bahaya di tempat kerja, haram hukumnya bagi mereka untuk tidak menggunakan kacamata pelindung, masker, helm dan… hei! Sepatu safety Jogger. Jawaban Tuhan untuk mengganti pantopel yang menyebalkan.

Saya mulai berkunjung ke satu toko sampai ke toko yang lain demi mencari alternatif variasi model yang cocok untuk dipadu padankan dengan kombinasi flannelchino, flanneljeans atau kemejajeans. Ketemu! Tapi mahal, anjir. Saya sekali lagi menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Jika membeli sepatu kets di rentang harga satu atau dua juta saya tidak terlalu ambil pusing. Karena toh bisa digunakan di banyak sekali kegiatan. Dari mulai berangkat kondangan, nongkrong dengan teman-teman di mall, misalnya, sekolah atau kuliah atau banyak lagi yang lain. Tapi untuk membungkus kaki dari rumah ke tempat kerja sampai harus keluar uang satu juta? Ya, nanti dulu.

Dan berterima kasihlah sebanyak-banyaknya kepada internet yang terus berinovasi sampai membawa kita ke kemudahan luar biasa dalam berbelanja. Toko online! Di sana saya menemukan banyak sekali alternatif yang lebih murah. Cocok untuk saya melakukan sebuah eksperimen ulang untuk modifikasi penampilan kerja. Sepatu pantopel di hari pertama, sepatu safety (murah) di hari kedua, pantopel lagi hari ketiga, sepatu safety (murah) di hari keempat dan ditutup dengan sepatu pantopel di hari kelima. Minggu pertama aman. Minggu berikutnya saya mengulang pola dengan menambah porsi penggunaan sepatu safety. Porsi itu terus saya ubah sedikit demi sedikit sampai saya merasa benar-benar aman, menggunakan sepatu safety secara konsisten dan tidak ada tim HRD yang kembali usil memanggil saya akibat penggunaan sepatu belaka. Hore!

Tidak lama, sih. Sepatu safety itu berat, Jendral! Selain itu konsep kerja saya yang lebih banyak duduk di meja ketimbang di lapangan membuat saya tidak harus-harus-amat menggunakan sepatu safety. Maka kemudian saya beralih ke sepatu boot dengan bentukan yang mirip-mirip dengan sepatu safety tapi lebih murah ringan. Dan saya nyaman dan saya senang.

Bagian paling menyenangkan adalah ketika sengaja atau tidak bertemu dengan teman yang bekerja di perusahaan berbeda. Mereka melihat penampilan kerja saya dari atas sampai bawah, mata mereka sinis, hidung kempas kempis dan mulut mengucap mantra sumpah serapah: “Lu ini kerja? Atau mau main band?”

Sebuah kenyamanan yang paripurna  dalam berpenampilan kerja. Barangkali bisa jadi alternatif juga untuk Pak Wakil Gubernur.

Related Posts

Comments (1)

pernah diprotes murid gegara gak pake sepatu pantofel yg rapi itu
emang males sih ya klo dari rumah mas
apalagi ujan2 gini,

Leave a comment