Scroll Top

Si Jagoan

“Yah, jek aja,” suara lembut penuh semangat dari ujung telfon di sana. Dua jam sebelum pergantian hari menuju akhir pekan. Aku baru saja tiba di terminal ibukota provinsi. Untuk mencapai rumah, jika menggunakan akses kendaraan seperti biasa, masih membutuhkan waktu enam sampai sembilan puluh menit lebih kurang. Meski sebenarnya cepat saja jika pemilik angkutan tidak bebal menunggu penumpang penuh. “Yah, jek, aja” ia kembali mengulang perkataanya. Menggunakan ojek, maksud dari perkataan itu, memang dapat memangkas waktu hampir setengahnya. Aku menimbang-nimbang, lalu mengangguk, tersenyum, “iya, dek, Ayah naik ojek, ya.”

Ini pelajaran yang baik untukku, di kemudian hari aku harus lebih berhati-hati ketika berbicara di depan Si Jagoan. Kemarin malam, saat kami melakukan rutinitas pelepas rindu melalui panggilan video, aku sempat memintanya menunda waktu tidur untuk menungguku pulang. Aku sebenarnya bercanda, aku tahu betul anak kecil itu cukup sulit untuk tidur agak malam. Bagaimanalah, sepanjang hari ia sibuk bermain. Tertawa riang, bercanda dengan seisi rumah yang aku tidak ada di dalamnya. Sesekali ia mengambil telfon milik neneknya, menekan salah satu tombol yang sudah ia hafal, mencari gambar yang memperlihatkan wajahku. Kemudian panggilan telfon tersambung begitu saja. Sekali saja aku mengabaikannya dalam panggilan telfon itu, maka bersiaplah seisi rumah akan ia acak sedemikian rupa. Rutinitas seperti itu sudah cukup untuk membuatnya teramat lelah ketika malam datang, sesuatu yang cukup untuk membuatnya selalu tidur cepat.

Tiga puluh menit kemudian, dengan moda transportasi daring yang aku gunakan, aku sampai lebih cepat dari seharusnya. Benar saja, ketika pintu rumah kubuka, ia sudah menyambut dengan senyumnya yang memesona. “Ayah!” katanya kencang sambil memeluk kakiku dengan sisa-sisa tenaganya. Aku membalasnya dengan sebuah gendong dan cium di kedua belah pipinya. Ia tertawa senang, meminta turun untuk kemudian berlari ke dalam kamar, membangunkan kakek-nenekya. “Eyang, ada ayah. Eyang, ada ayah” ucapnya berulang-ulang kencang sampai orang tua dari istriku terbangun. Terpaksa bangun.

Lalu kemudian ia seolah meminta ganti waktu yang kosong selama satu minggu terakhir aku bekerja, meninggalkannya di rumah bersama kakek-nenek. Satu setengah jam sebelum pergantian hari di akhir pekan dan ia mengeluarkan tumpukan mainan dari dalam kotak. Bola menjadi variasi terbanyak diantaranya. “Yah, pecib, yah. Pecib” ia mengambil bola ukuran paling besar, menendangnya ke segala arah. Menyuruhku untuk ikut berlari di dalam ruang, sempit memang, tapi cukup untuk membuatku kewalahan.

Ketika aku membuat keputusan untuk hidup berjauhan dengan Si Jagoan, menitipkannya di rumah eyang. Hal yang paling aku takutkan adalah, ketika ia sudah cukup untuk mengerti, ia akan jadi membenciku. Beberapa kali aku memikirkan resiko diabaikan setiap kali aku pulang, resiko penolakan ketika aku, dan pasti akan selalu, merindukannya. Beberapa kasus yang aku temukan di kehidupan kerabat, atau dari literasi psikologi yang aku baca. Di usia tumbuh, ketika seorang anak ditinggalkan orangtuanya, dengan alasan apa pun, akan sulit bagi anak untuk dekat dengan orangtuanya, baik dari sisi emosional atau pun dari sisi psikologis.

Beruntung, ketakutanku itu tidak pernah terjadi Setidaknya sampai saat ini. Setiap aku pulang, ia akan memonopoli waktu dan pikirku hanya untuknya. “Ayah punya aku, kalian gak boleh dekat-dekat sama Ayah” mungkin itu yang akan ia katakan jika sekarang ini ia fasih berbicara. Bahkan, dalam beberapa waktu, sikapnya itu kerap membuat ibunya cemburu. Aku? Aku tentu berterima kasih banyak padanya dan juga pada semesta yang tetap menjaga ikatan emosional antara ayah dan anak meski waktu dan jarak menjadi pembatas antara kami di setiap periode waktu tertentu.

Tiga puluh menit setelah pergantian hari di akhir pekan. Ia masih terjaga, mereka ulang apa yang sudah kuajarkan sebelumnya. Menghitung angka dari satu sampai sepuluh. Satu minggu yang lalu aku mengajarkan ia berhitung. Dalam beberapa kali percobaan yang banyak, ia mampu melakukannya. Sesekali ia berhenti, seolah berpikir, karena ada beberapa angka yang alfa ia sebutkan. Aku memandunya lagi. Ia mengikutinya. “Atu, ua, empat, nam, ujuh, lapan, mbilan, puluh” ia jabarkan dengan riang sambil kedua tangannya bertepuk. Aku memeluknya, dengan kebahagiaan dan rasa bangga yang memuncak. Lebih kurang enam puluh menit setelahnya, ia tertidur. Meski rindu, ada batasan fisik yang tak bisa ia lawan. Ia sudah terlalu lelah.

Apa yang kubilang tadi? Aku harus berhati-hati terhadap apa yang aku katakan di depannya. Ia akan mengikutinya, atau juga mendengarkannya. Buruknya, sekali saja aku berjanji. Ia akan menagihnya dengan semangat yang luar biasa. Seperti pagi ini, setelah ibunya memandikannya. Ia menolak kaus yang telah disiapkan, memilih bajunya sendiri. Berlari ke bagian belakang rumah, mengambil sepatu lengkap dengan kaus kakinya. “Ayah, yu. Nda, yu” menarik tanganku juga tangan ibunya kencang.

Semalam, sebelum tidur aku berbisik di telinganya. “De, besok kita jalan-jalan, ya. Naik motor dede.”

***

Seorang tua bertanya ‘apa’ untuk setiap yang ia lihat, untuk setiap yang ia dengar, untuk setiap yang ingin ia ketahui, kepada anak lelakinya. ‘Apa’ diucapkan berulang-ulang entah. Sampai Si Anak marah, membentak orangtuanya yang terus bertanya ‘apa’. Orangtuanya menjawab dengan tersenyum. “Nak, baru sebentar saja ayah bertanya ‘apa’, kau sudah marah sedemikian rupa. Tahukah, nak. Ketika kau kecil dulu, kau bertanya ‘apa’ beratus kali lebih banyak tanpa pernah sekalipun ayah memarahimu.”

Kalian pernah mendengar kisah itu? Kisah yang membuat aku bersumpah dengan sungguh. Aku tidak akan mengikuti apa yang dilakukan Si Anak kepada orangtuanya, yang marah karena ‘apa’. Dan aku harus bisa melakukan apa yang dilakukan si orangtua kepada anak untuk setiap ‘apa’ yang diucap.

Sekarang ini, Si Jagoan sedang dalam masa-masanya bertanya. Mengedepankan keingintahuan dalam semua bentuk komunikasi yang ia lakukan. Aku? Dengan teramat senang menjawabnya, sesekali kutambahkan cium dan peluk gemas. Menjawab semua ‘apa’ sebagai bentuk pengajaran, menjawab semua ‘apa’ sebagai sebuah hutang atas waktu yang sedikit untuknya, menjawab semua ‘apa’ dengan banyak sekali semoga, menjawab semua ‘apa’ dengan sekian banyak terima kasih. Nak, terima kasih telah mengizinkan aku menjadi ayahmu.

Masa ini, aku masih mampu menjawab semua ‘apa’ yang ia ucap. Minggu lalu, ‘apa’ itu tentang angka, minggu sebelumnya tentang tubuh dan apa-apa yang menjadi bagiannya, minggu sebelumnya tentang hewan dan suara yang mereka keluarkan. Mudah. Semoga minggu selanjutnya, ia belum akan bertanya “apa turunan dari teori relativitas”. Jangan dulu, Nak. Ayah belum bisa menjawabnya.

Bahkan, menjawab lagu apa yang membuatmu berdansa sedemikian khidmat ini pun. Ayah kewalahan.

GOYAANGGG DEK, GOYANNNGGGG!!!

A post shared by Andhika Manggala Putra (@andhikamppp) on

Related Posts

Comments (21)

Heueuhlah percaya eta budak kasep eta bakal nanya apa turunan dari teori relativitas… Asal jangan tanya aku bagaimana dibuatnya 😂😂😂

kita senasib ya mas Dhika. putriku juga berjauahan dari ayahnya dan aku juga sebenarnya takut kalau sampai dia enggak sayang sama ayahnya karena seharusnya seorang ayah adalah cinta pertama seorang anak perempuan. Alhamdulillah selama ini karena mungkin masih kecil, ia masih terlihat biasa2 saja. Hanya saja, ia sering tidak mau berbicara kalau ayahnya telepon. Tapi kalau akhir pekan dan sang ayah pulang, ia malah tidak mau dengan saya.

hm… kadang pilihan hidup itu berat, ya. semoga semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Aku blm punya anak tp udah sering ditanya apa sama ponakan. Gak bs bayangin kalau ditanya anak, Yah kenapa ayah tidak main sama aku setiap hari?

Atau ikutan org2 gedhe dan nanya sama tantenya yg blm nikah, Kapan nikah? Hwaa

Anak2 pikirannya simple. Kita aja yg kdg bikin runyam. Asal memberitahunya dg hati2 dan pengertian, dia akan ngerti

Pernah usul ke suami, aku balik ke Sby aja, dia sendirian di Jkt. Trus suami khawatir kasian anak2 kalau gk ada figur ayah hehe. Yawda keputusan terbaik mangan ora mangan kumpul.

Btw tapi sayanya sering ninggalin anak2 saat wiken dan mereka sama ayahnya. Pdhl tiap hari ayahnya bernagkat pagi pulang malam, tapi kalau wiken pas ada ayahnya ya maunya sama ayah. Jd emaknya bebas deh kemana2 😀

Hmm.. saat ini, gw yang paling sering sama anak, karena kerjaan yang fleksibel. Nikmati saja, beri pengertian, dan berbagi peran. Ibunya, pulang paling cepat jam 7 malam. Subuh, sudah on the way ngantor, saya anter pake motor ke mobil jemputan. Gw rasa, memang perlu family time untuk mengganti itu semua. Weekend, waktu dua jam sebelum tidur, semua bisa dioptimalkan kok. Gw waktu kecil juga kedua ortu jarang pulang, dan gw rasakan, sampe sekrang kok, tak ada berkurang sedikitpun rasa cinta dan sayang gw ke mereka, dan serta kasih sayang mereka yg dirasakan.

Wahahaha endingnya ampun deh bang, si anak tanya ke bapaknya soal teori relativitas. Ya jelas bapaknya tak bisa menjelaskannya, karena konon katanya di dunia ini hanya ada 18 orang yang mengerti akan hukum teori relativitas atomnya einstein X)

Iya anak anak memang serba ingin tahu, kadang kala mereka tidak pernah puas akan satu jawaban. Mereka tak mengenal batas atas sebuah jawaban, maunya tanya mulu, lagi lagi dan lagi.

Emang gak mudah jauh dari ayah atau ibu itu pilihan sulit. Beruntung aku gak pernah jauh dari mereka karena bekerja di kota yang sama. Tapi saat ini malah aku yang meninggalkan mereka karena ikut suami, sedih tapi aku harus memilih

Aiih, jagoannya pinter banget bisa joget-joget gitu… Lucu ya…😍😍
Kagum deh, sama sosok ayah seperti Mas Andhika, yang selalu memperhatikan perkembangan buah hati.
Semoga binding antara ayah dan anak selalu terjaga ya…

Bonding maksudnya…hihihi typo 🙂

Usia toddler itu emang pas lagi lucu2nya. Lagi gemes2nya, karena polah & celotehannya yg spontan. Tapi juga enggak jarang bikin gemes karena dia udah mulai keras kepala. Ujian sabar bener2 berlaku di usia 3 thn ke atas. Apalagi kalau ngadepinnya sepanjang hari. Wkwkwkwk..

Anak jaman sekarang emang perkembangan pesat yah mas. kalau dulu hanya belajar dari ortu atau kebiasaan orng sekitar tapi sekarang media komunilkasi seperti internet dan TV jadi panduan. rasa ingin tahu biasanya jatuh dari bapaknya lhooooo hehehe

Lucu banget jagoannya Mas. Bisa nanya tentang teori kaya gitu hihihi dinikmati saja mas moment – moment seperti itu. Sebelum buah hati nya memilih nanya ke google sendiri hehe maksudnya sebelum beranjak dewasa 🙂

Terus kapan nih mba Widya nish biar segera punya jagoan hehehe

Jagoannya lucu dan menggemaskan, tapi semoga tak benar-benar menanyakan teori relativitas. Pasti mumet jawabannya, apa dan apa rasa ingin tahu anak saat ini sangat berpikir kritis ya.

Lucu banget si jagoannya. Mani kasep dan pinter. Semoga bertumbuh baik dan bisa menjadi pribadi yang mandiri. Apa itu teori relativitas? Huft…

Semoga selalu bersemangat menjawab apa si kecil ya. Kapan-kapan reuni atuh bawa si jagoannya heuheu

Saya pernah lihat film anak yg marah karena orang tuanya bertanya hal yang sama berulang.. tp lupa dimana mas hehe..

Mantab nih jagoan mas andhika, smg saya juga bs segera diberi jagoan mas hehe

Duh masuk ga ya komentar saya mas.. sepertinya udah 4x nih mengalami kejadian serupa dan terjadi di wp

Si jagoan semoga makin jagoan ya… emang mas dika ngomomg sama anak zaman sekarang harus hati2.. mereka pegang janji banget ya. Sampai tengah malam dijabanin deh..

Kerasa banget kalo janji sama bintang juga bakal ditagih kalau dia udha iyakan. Termasuk janji bermain dan tunggu pulang. Jagoan kece semoga makin banyak nanya ya.. semakin sehat dan ceriwis

Suka banget kalonada ayah yang curcol tentang kluarga apalagi anak.
Itu menandakan ayah sekarang perlu banget ikut terlibat dalam pengasuhan.

Karena pengasuhan
yang baik adalah dari kedua orang tua, bukan hanya seorang Ibu.

Leave a comment