Scroll Top

Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon?

Jika ada satu hal yang harus saya syukuri atas apapun yang telah saya lakukan di hari pergantian tahun kemarin adalah : saya memutuskan untuk memulai tahun ini dengan membaca ‘Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?’ buah tangan Eko Triono. Sungguh karya yang begitu memesona. Sebelum Anda memutuskan untuk membacanya, sebaiknya Anda membaca terlebih dahulu bagian belakang cetak buku. Ada sebuah pesan yang mengatakan bahwa “Eko Triono tidak membiarkan pembacanya tenang, Ia bersengaja meninggalkan kegelisahan melalui tulisannya. Kisah-kisah dalam buku ini sebaiknya dinikmati secara utuh. Lalu tak apa jika kemudian kamu melamun”. Sebuah pesan yang tidak bisa diabaikan. Dan bersama buku ini, saya menemukan lamunan yang menyenangkan.

Adalah basabasi.co -sebuah portal tempat berkumpulnya para penulis muda yang memperkenalkan saya untuk pertama kali kepada sosok Eko Triono. Beberapa tulisannya sempat saya baca pada laman tersebut. Dan saya suka kepada cara Eko bercerita, kepada cara Eko memperkosa kata, kepada cara Eko meramu segala apa yang ada dalam pikirnya untuk ia jadikan sebuah karya yang gila. Saya yang kemudian mencari tahu tentang karya Eko yang lain, hanya akan dihadapkan oleh perkara waktu sampai saya menemukan buku ‘Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?’. Yang saya sesalkan adalah, kenapa saya tidak membeli dan membacanya ketika saya pertama kali mengetahuinya. Beberapa toko buku, beberapa waktu, dan juga beberapa uang saya lewatkan bukan untuk ‘Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?”. Ia tersalip oleh beberapa buku lain yang lebih dulu memenuhi isi lemari kecil di rumah. Karenanya, saya jatuh cinta dengan terlambat.

“Sebelum kau bertanya. ‘Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?’ Hujan lebih dahulu berwarna tembaga.”

 – Eko Triono, Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon? Hal. 63

Berisi tiga puluh satu cerita pendek yang pernah dibuat Eko dalam rentang waktu dua ribu sepuluh sampai dua ribu lima belas. Tiga puluh satu cerita yang, sebenarnya, menyenangkan untuk dilahap habis sekali waktu. Masing-masing darinya sama sekali tidak berkaitan. Anda bebas untuk menentukan bagian mana yang ingin Anda baca terlebih dahulu. Pada bagian-bagian yang tepat Anda akan menemukan suatu cerita yang dekat sekali dengan kehidupan Anda. Ya, atau setidaknya itu yang alami -dan kemudian saya lamunkan ketika saya membaca beberapa bagian dari cerita Eko. Meski, untuk urusan ini, saya membacanya sesuai urutan bab.

Tulisan Eko, jika saya diizinkan untuk beranalogi, laiknya sebuah kesenian abstrak. Dalam prosesnya tentu saja diperlukan imajinasi dan ide-ide liar dari setiap kata yang ia pahat dalam ‘seni abstrak’ yang dibuat sebelum kemudian menjadi sebuah kesatuan yang indah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya ‘seni abstrak’ yang hanya dimengerti oleh sebagian yang memiliki minat sama, karya Eko hanya akan dinikmati oleh penggila diksi, penikmat kompleksitas, dan atau yang menganggap indah sebuah karya sastra yang rumit. Meminjam kalimat Prof. Dr Faruk H.T dalam testimoninya untuk karya Eko : “Yang membuatnya kelihatan lebih rumit adalah penyisipan kalimat-kalimat yang kelihatan filosofis, juga adanya alusi kepada sebuah pusis yang dikenal serius”.

“Melamun bukan membuang waktu, melainkan menciptakan waktu; menciptakan jeda untuk memeriksa apa yang sudah kita miliki atau apa yang baru saja hilang, baru saja pergi”

– Eko Triono, dalam bab Paradisa Apoda – Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon? Hal. 63

Saya sendiri, dalam dua belas hari waktu yang saya habiskan untuk menyelesaikan buku ini, melamun karena dua hal. Pertama, tentang beberapa cerita yang tampak begitu dekat dengan apa yang saya alami. Kedua, tentang saya yang berulang kali mengerenyitkan dahi, kemudian diam, untuk memahami diksi yang Eko tuliskan. Pada awal mula saya sempat melihat bayangan pola penulisan Supervova : Edisi pertama karya Dee lestari. Sebuah karya yang didalamnya banyak sekali istilah-istilah keilmuan, yang boleh jadi hanya dimengerti para kutu buku di level tertinggi kependidikan. Nyatanya saya salah. Kalimat yang Eko gunakan tidaklah setingi itu. Maksud saya, dalam pembentukan kalimatnya, Eko menggunakan alternatif kata yang digunakan di kehidupan sehari-hari. Hanya karena bakat dan kejeniusannya itulah yang membuat kata-kata biasa itu berubah menjadi begitu indah.

Isi cerita? Jangan ditanya. Sudah berulang kali saya menuliskan di atas. Eko adalah pencerita dengan imajinasi yang liar. Meski ada diantaranya yang memiliki tema dengan karya kebanyakan. Eko menuliskannya dengan perspektif yang berbeda. Ada beberapa bab favorit yang saya baca berulang-ulang dengan alasan yang berbeda-beda. Pertama bab dengan judul Bukan Aku Pembunuhnya yang berisi tentang sebuah sanggahan yang diucapkan dalam satu tarikan nafas. Ehm, maksud saya ditulis dalam satu paragraf panjang, begitu panjang. Yang kedua bab dengan judul Antoine Gusteau Ditemukan dalam Mimpi Seorang Baghdad sebuah kisah yang menipiskan kehidupan alam mimpi dengan apa yang (sudah/sedang/akan) terjadi pada dunia nyata. Dan tentu saja bab pamungkas, yang juga menjadi judul buku ini : Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon?. Yang boleh jadi akan menyulut emosi para aneh pembaca judul belaka diluaran sana.

“Dunia hanya akan seimbang jika ada perempuan. Maka ketika dipenjara terkutuk ini semuanya laki-laki, perlu ada perempuan, dalam bentuk apapun itu…”

– Eko Triono, dalam bab Tahun Tahun Penjara – Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon? Hal. 51

Berapa nilai yang saya berikan untuk ‘Agama Apa Yang Pantas Bagi Pohon-pohon?’. Entahlah. Namun, sudah sangat lama sekali saya tidak mengalami orgasme yang sebegitu hebat ketika selesai membaca sebuah karya. Gila. Menjadi kalimat yang terlontar begitu saja ketika saya tiba di halaman akhir buku.

Terima kasih, Eko Triono.

P.S : Jika Anda memutuskan untuk membeli, meminjam atau membaca buku ini. Untuk kenyamanan membaca, hindari untuk terlebih dulu membaca komentar ataupun pengantar yang berada di halaman-awal awal.

Related Posts

Comments (3)

Om Dhik! Pinjam bukunya!

Aku belum pernah baca karya beliau, tapi kalau dari deskripsi yang Om Dhik lontarkan perihal tulisannya, kayaknya mirip-mirip sama Afrizal Malna.

AH, INI BARU AWAL BULAN DAN SUDAH BANYAK LIST BUKU YANG MAU AKU BACAAAAA HHH

Afrizal Malna yaa? Baikk, masuk list ah. Boleh, nanti kalau ketemu aku bawa ya.

Bang dhika, pinjam bukunya bang…
belum baca nih bang, bukunya eko triono yang ini, eh yang lain pun gak tau dan belum baca hehe

Masukkan wishlist nih, buat akhir bulan besok…. X)
Mau komentar soal bukunya, tapi belum baca, jadinya gak tau mau komentar apa, jadi komentar saya cukup sederhana.

OM PINJAM OM!

Leave a comment