Sesosok pria bertelanjang dada berdiri tak jauh dari sebuah taman luas yang bermandikan cahaya matahari pagi. Pria itu sepertinya bangun terlalu pagi, entah apa yang membuatnya rela terjaga lebih cepat dari biasanya. Sepertinya ada yang sedang ditunggu kedatangannya oleh pria itu, entah wanita lain yang dicinta, entah sanak keluarga atau sekedar teman lama. Tak jauh dari tempat pria itu tadi berdiri di dekat taman indah yang terbentang, ia kemudian mendaratkan tubuhnya di atas sebuah kursi kayu sederhana yang tertata rapi dengan meja kecil di teras rumahnya yang megah namun bergaya klasik. Pelayan tanpa di minta segera meletakan beberapa botol beer merk Hatuey di meja kecil di hadapan sang majikan yang kemudian langsung di bukanya dan di teguk sedikit sebelum mengeluarkan cerutu merk Montecristo dari saku celananya. Dari dalam rumah, alunan Hasta Siempre menemani si penunggu rumah melewati pagi yang nampaknya akan lain dari pagi pagi sebelumnya.
Sebuah sedan Mercedes-Benz S-Class W126 berhenti tepat di depan gerbang dengan jalan setapak di tengahnya yang berada satu garis lurus dengan teras tempat sang pria bersantai. Mengkilapnya sedan yang baru saja berhenti memaksa si pemilik rumah menghentikan sejenak tarikan dalam dari cerutu yang terselip di jemari kirinya. Sesosok pria dengan balutan seragam hijau tua turun dari pintu belakang lalu kemudian melangkah gagah masuk menuju teras yang dimana si pemilik rumah memang sudah menunggunya.
“Buenos dias, amigo… patria o muerte…!!!” sang tamu sedikit berteriak seraya mengangkat tangan beberapa meter sebelum sampai di teras rumah tersebut. “La bienvenida mi amigo…” sang pemilik rumah berangsur berdiri lalu maju dan memeluk erat sang tamu.
Lamanya bentang waktu yang membuat kedua sahabat tersebut tidak saling bertemu tergambar jelas dari pelukan si pemilik rumah dan sang tamu. Pelukan yang tak sekedar menggambarkan kerinduan, namun juga kebahagiaan dari keduanya setelah sekian lama tidak bertatap muka. “Bagaimana perjalananmu, Fidel? Semua baik-baik saja?” Tanya sang pemilik rumah segera setelah mereka berdua duduk berdampingan menghadap taman nan indah di pekarangan rumah itu.
“Tak ada masalah Che, semua baik baik saja. Aku pun merasa tubuhku lebih sehat saat ini. Aktifitas menghisap cerutuku bisa lebih nyaman kulakukan saat ini tanpa perlu mendengar peringatan berlebihan dari dokter pribadi atau pun istriku.” Sang tamu mengeluarkan sekotak cerutu merk Cohiba, menyelipkan satu batang di mulutnya lalu membakarnya. “Kau masih dengan cerutu merk yang sama Fidel?” Lelaki itu tertawa. “Kita berdua rupanya begitu setia dengan satu merk cerutu.”
“Kau tahu kan Che bahwa aku hanya bisa menghisap cerutu buatan tangan dari daun tembakau yang di gulung di atas paha perawan. Dan hanya Cohiba yang mampu mewujudkan seleraku itu.” Fidel Castro mengomentari ucapan kawan lamanya tersebut berbarengan dengan kepulan asap pertama dari cerutu legendaris miliknya.
“Rumahmu luar biasa megah, Che. Seleramu boleh juga. Aku tak menyangka kau memilih hunian dengan gaya klasik seperti ini.” Ujar Fidel Castro setelah memutar bola matanya mengamati kediaman sahabat seperjuangannya itu. “Fidel, semegah apapun rumahku ini. Tentu tak ada apa apanya jika di bandingkan dengan Cayo Piedra milikmu. Tak ada yacht yang bisa bersandar di sini meski di belakang sana ada sebuah sungai kecil yang mengalir.” Jawab Che dengan nada bergurau.
“Fidel, sebagai pembuka dari pertemuan kita, ceritakan lah padaku bagaimana kondisi Kuba sekarang. Kau tahu aku terakhir kali berada di sana tahun 1965 dan itu sudah lama sekali…”
“Ernesto Guevara de La Serna, aku masih ingat kan namamu? Sejak terakhir kali kau dan aku berada di Kuba setelah sukses menggulingkan pemerintahan Batista. Kuba di bawah kepemimpinan ku telah banyak berubah menuju arah yang lebih baik. Ya, setidaknya itu menurutku pribadi. Kesehatan dan sekolah aku berikan gratis kepada rakyat. Dan karena kebijakanku itu, Kuba menjadi negara dengan tingkat buta huruf terendah di Amerika Latin. Dan dengan hal itu, aku berharap akan banyak anak anak di Kuba bisa mencicipi pendidikan tinggi nantinya. Atau impian dari hati kecilku, aku ingin muda-mudi di Kuba bisa membaca banyak literatur dari Karl Marx atau Sigmund Freud seperti dirimu dulu ketika masih berusia dini.”
“Memang di pertengahan 1980-an lalu revolusi ala Fidel Castro yang ku banggakan mendapat pukulan telak ketika Moskow mulai berhenti membeli gula dari Kuba. Sementara kami masih dalam masa embargo Amerika. Barang-barang pokok yang di butuhkan masyarakat menjadi langka, rak-rak di banyak toko tidak terisi sebagaimana mestinya. Kesabaran rakyat semakin pendek namun di saat yang sama antrian makan untuk rakyat di banyak tempat semakin mengular panjang. Dunia luar menertawakanku dan berkata itulah yang terjadi ketika Marxisme masih menjadi ideologi sebuah negara. Aku tidak peduli, toh sampai detik ini aku tidak ingin melabeli apa yang ku jalani di Kuba adalah komunisme atau Marxisme, aku hanya ingin demokrasi perwakilan dan keadilan sosial dalam perencanaan ekonomi yang matang. Che, sudah lah, aku datang ke sini bukan untuk bercengkrama soal politik yang sudah puluhan tahun ku jalani. Romastime usang dari pergerakan yang dulu kita lakoni, jelas lebih menarik untuk kita bincangkan saat ini.” Fidel Castro mengakhiri ucapannya dengan meneguk Hatuey dari meja di sisi kirinya.
“Beberapa hari sebelum aku berangkat ke sini, aku teringat akan satu nama. Granma. Kau ingat itu, Che?” tanya Fidel mendadak ke Che yang sedang mengepulkan asap cerutunya. “Granma? Jelas aku masih mengingatnya Fidel. 25 November 1956. Dari Tuxpan Meksiko, sebuah kapal yang sebenarnya berkapasitas hanya untuk 12 orang kita naiki menuju Las Coloradas di timur Kuba bersama 80 pejuang lainnya termasuk adikmu. Granma adalah sebuah nama yang bagiku ialah gerbang pengantar menuju perjuangan yang ingin lakukan sejak berkeliling Amerika Selatan dulu.” ucap Che.
Sesaat, Fidel Castro merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna putih yang berbentuk miniatur kapal bertuliskan ‘Granma’ di salah satu sisinya. “Ini untuk mu Che, ku bawakan khusus agar kau selalu ingat darimana semua perjuangan kita berawal.” Ucap Fidel Castro lalu menyerahkan buah tangan yang ia bawa ke sahabat lamanya itu.
Di tengah obrolan keduanya yang semakin mendalam, dari dalam rumah terdengar derap langkah kaki mendekat menuju teras.
“Ini aku buatkan Platillo Moros y Cristianos khusus untuk kalian berdua…” ucap seorang wanita yang membawa dua piring besar dari dalam rumah seraya meletakkannya di meja di antara Che dan Fidel. “Hilda Gadea!!! aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.” Fidel bersorak disertai pelukan hangat kepada Hilda yang merupakan cinta pertama kawan lama di sebelahnya itu.
“Kau juga harus makan Che. Minum Hatuey di pagi hari tanpa sedikitpun makanan di dalam perutmu juga bukan sesuatu yang baik untuk dibiasakan” ujar Hilda kepada Che. Fidel yang berada di sebelahnya mengangguk, tersenyum.
Hilda meninggalkan mereka berdua lalu masuk kembali ke dalam rumah. Tangan kanan Fidel Castro bergerak naik merogoh saku kiri dari kemejanya. Mengeluarkan selembar kertas yang lebih mirip sepucuk surat, lalu menyerahkannya kepada Che. “Aku ingat betul, 3 Oktober 1965, ketika aku membacakan suratmu pada rapat terbuka Partai Komunis Kuba. Aku sejujurnya tidak menyangka isi suratmu saat itu lebih kepada sebuah pernyataan pengunduran diri dari peranmu untuk Kuba di bawah pemerintahanku” ucap Fidel dengan raut wajah serius.
“Fidel” Che melanjutkan. “Ketika surat itu sampai ke tanganmu, aku mungkin sudah berada jauh dari Kuba. Kau tahu aku pergi ke Afrika untuk membantu pergerakan pasukan pemberontak di Kongo. Entah mengapa, setelah keberhasilan kita di Kuba, nuraniku terus berseru untuk terus berjuang melawan imperialisme. Kobaran api perlawanan dalam diri sulit untuk ku bending. Apalagi setelah tahu bahwa banyak tempat di negara lain mengalami apa yang pernah rakyat Kuba alami.” Jawab Che juga dengan nada serius.
“Ya, aku paham betul apa yang menjadi kegelisahanmu Che. Dan percayalah, aku sama sekali tak pernah sedikitpun menyalahkanmu atas tindakan itu. Meski pada akhirnya, kita semua tahu kepergianmu dari Kuba seolah pertanda kepergianmu juga dari sisiku untuk selamanya.” Ujar Fidel di akhiri kepulan asap pekat dari cerutunya.
“Sampai detik ini, tak pernah sekalipun terbesit dalam hatiku soal penyesalan keluar dari Kuba untuk berjuang di tempat lain. Kegagalan di Kongo tak lantas menyurutkan niatku untuk kembali berjuang di Bolivia. Ruta dal Che yang ku gagas akhinya menemui titik nadir di La Higuera. Felix Rodriguez, agen CIA keparat itu, beserta lebih dari 1800 pasukan Bolivia berhasil melacak keberadaan ku dan pasukanku hingga kemudian aku tertangkap dengan beberapa luka di tubuh. Ketika aku ditawan, aku mendengar presiden Bolivia memerintahkan Gary Prado si kapten pasukan Bolivia untuk segera mengeksekusi matiku, meski sesungguhnya Rodriguez merasa aku lebih berharga jika di biarkan hidup seperti perintah CIA kepadanya.”
“Sudah Che” Fidel Castro memotong rentetan cerita sahabat lamanya itu. “Aku tak sanggup lagi mendengar kelanjutan ceritamu”
“Fidel, ketahuilah, sebelum seorang sersan bernama Mario Teran melepaskan timah panas dari senjata Karabin M1 buatan Amerika yang bersarang di kedua lengan, kaki dan dadaku, itulah momen di mana otakku mengulang lagi apa-apa saja hal yang pernah aku lalui bersamamu. Saat itu lah dimana aku merasa begitu beruntung dan terberkati bisa bertemu dan mengenalmu untuk kemudian berjuang bersama merobohkan dinding tirani” ucap Che di sertai tegukan Hatuey yang di sambar dengan tangan kanannya.
Obrolan keduanya semakin panjang hingga matahari makin meninggi pertanda siang. Pelayan rumah sudah kedua kalinya membawakan lagi beberapa botol Hatuey tambahan ke teras. Dua orang yang sedang berbincang di teras rumah itu memang sulit sekali untuk dihentikan jika sudah duduk berdampingan dan bertukar pikiran. Tiba-tiba, Che bangkit dari kursinya dan sedikit berteriak memanggil cinta pertamanya di dalam rumah,
“Hilda! Hilda! tolong ambilkan kemeja dan kunci motor Norton–ku.” ujar Che kepada Hilda yang baru tiba di muka pintu.
“Kau akan menginap di sini kan, Fidel? Masih ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu.” Tanya Che kepada Fidel. Yang ditanya menjawab dengan sebuah anggukan. “Ya, tentu saja. Tapi mungkin aku nanti akan keluar untuk mengunjungi beberapa orang yang memang sudah lama ingin ku temui” jawab Fidel.
“Istirahatlah dulu, Fidel. kau punya banyak waktu di sini untuk menemui semua orang yang ingin kau temui” Che memberi saran kepada sahabatnya itu.
Selang beberapa menit kemudian, Hilda datang membawa kemeja tebal yang juga berwarna hijau tua, topi baret dengan pin kecil berbentuk bintang di tengahnya, sekotak Montecristo dan kunci motor lalu di serahkannya kepada Che Guevara. “Kau hendak pergi kemana Che? Mengapa tak gunakan saja mobilku dan minta supirku untuk mengantarmu?” tanya Fidel dengan raut wajah penuh keheranan.
Che yang masih berdiri, lantas memutar bola matanya ke arah Fidel Castro yang masih terduduknyaman di kursinya. Seraya mengancingkan kemeja hijau tua legendaris miliknya, Che menjawab. “Aku mau ke pusat kota, ada perayaan penyambutan kepada rombongan tim sepakbola yang baru saja tiba. Mereka tiba di sini sebagai juara, dan trofi yang akan mereka terima di sini, jelas akan lebih abadi ketimbang jika mereka mengangkat trofi di atas podium Copa Sudamericana.”
Langkah Che terdengar menjauhi teras, raungan khas mesin Norton menggantikan keheningan dari ucapan Che tadi. Terdengar kembali alunan ‘Hasta Siempre’ dari dalam rumah. Kali ini bukan karya komposer Carlos Puebla, tapi sebuah karya dari musisi Asia yang jauh dari Kuba.
“Bintang merahnya trus bersinar. Kisah pahlawan kaum tertindas. Diantara api neraka ia melangkah dengan senjata. Mencari utopia tak terjangkau. Kau berdiri di sayap kiri
Menyusun rencana, menanam bibit. Revolusi gerilya, dengan peluru seluruh dunia. Akan menuju surga dimana tiada rakyat tersiksa . Walau kau sudah tiada, cahaya bintang merahmu akan tetap bersinar”
Fidel Castro tersenyum. Menyelipkan cerutu di bibirnya, mengepulkan asap, menarik nafas dalam, lalu tersenyum kecil dari duduknya memandangi punggung Che Guevara yang mulai menjauh dari bola matanya.
Cerita yang sangat indah
Takbiiiir “hasta sempre”
Aku bingung aku mesti komentar apa di sini. Berat. Gaya bercerita yang “terjemahan banget” ini masih gak cocok rupanya sama aku. Yha, terbiasa baca sastra dalam negeri. Kalau terjemahan, kulebih sering baca teori. 🙁
Nama, tempat, tanggal, serasa baca buku sejarah. Mungkin kumesti lebih banyak baca lagi. Heu.
Terima kasih yang sudah berkenan membaca.. 🙂