Scroll Top

Menyesal (Belum) Kuliah

Kita hidup pada masa dimana eksistensi di dunia kerja tak melulu soal kompetensi. Anda akan menemukan banyak sekali contoh dimana seseorang yang kurang cakap menjadi pimpinan dalam suatu roda organisasi, alih-alih menjalankan fungsi operasi bahkan beberapa diantaranya kerap gagap menjalankan deskripsi kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Atau sebaliknya saya dan mungkin juga anda akan merasa getir ketika melihat seseorang yang luar biasa pintar, berkompetensi tinggi ditambah dengan etos kerja yang baik tetapi berada di titik terbawah dalam suatu roda organisasi.

Saya sering sekali berpikir, apa alasan orang yang standar atau kurang cakap atau malah bodoh bisa memimpin orang yang mahir dalam segala bidang. Dalam beberapa kali pengamatan juga disertai dengan diskusi. Saya memiliki dua jawaban terbaik. Yang pertama adalah latar belakang pendidikanlah yang kerap menjadi alasan. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi seringkali dianggap lebih kompeten, lebih pantas untuk memimpin dan tentu saja lebih pantas untuk dihargai lebih tinggi. Astaga, jika benar seperti itu aturan mainnya, untuk saya yang hanya lulusan SMA, habislah sudah kesempatan.

Memang saya sendirilah yang salah. Boleh jadi karena terbuai memegang uang atau karena terlalu sayang untuk membuang waktu luang dengan mengurung diri di dalam kamar membuka buku materi perkuliahan. Atau juga karena saya yang antipati dengan hasil dunia pendidikan negeri ini hanya karena melihat satu-dua contoh hasil yang buruk lalu kemudian memvonis parah : pendidikan negeri ini busuk. Yang oleh karena itu dengan sombongnya saya merasa harus membuktikan bahwa tingkat pendidikan saya yang rendah harus bisa bersaing -lalu menang dengan mereka yang berpendidikan tinggi.

Sebelumnya saya tegaskan, tulisan ini bukan untuk mencari musuh. Saya tahu -meskipun cukup terlambat dengan sumber daya manusianya yang luar biasa negeri ini berpotensi besar untuk merajai dunia. Tapi toh jika saat itu saya memiliki pemikiran sempit seperti yang saya sampaikan pada paragraf sebelumnya, itu karena saya sedang tidak beruntung dihadapkan pada contoh yang seringkali membuat saya menjadi sombong.

Kembali pada pemikiran bahwa saya yang harus bisa bersaing -lalu menang dengan mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, saya tidak salah dan pernah berhasil membuktikannya. Setidaknya dalam sudut pandang saya yang subjektif. Semakin sombonglah saya ini. Semakin malas saya menekuni pendidikan formal, saya semakin ingin membuktikan untuk menjadi besar tidak perlu rasanya membawa gelar. Tapi akan ada karma di setiap kesombongan. Tuhan yang Maha baik mengingatkan saya melalui rencana yang terkondisi. Saya diingatkan akan jadi sehebat dan sepintar apapun saya nantinya jika masih bersikukuh hidup di dunia kerja, saya hanya akan berkompetisi dengan diri sendiri dengan otak yang berpikir sempit dan bodoh. Orang lain akan menang tanpa harus bersusah payah. Saya diingatkan akan jadi sehebat dan sepintar apapun saya nantinya jika masih bersikukuh hidup di dunia kerja tetap akan ada batasan yang tidak bisa saya lawan. Tentang tata cara, peraturan dan hukum yang oleh manusia sudah dibuat sedemikian rupa. Inilah aturan main dunia kerja professional. Setelah begini, saya yang minoritas bisa apa ??

Ketika kita memutuskan untuk terikat dalam dunia kerja itu berarti yang kita bicarakan nantinya adalah kehidupan. Yang cukup atau yang berlebihan, itu tergantung dari gaya masing-masing manusia. Untuk saya sekarang ini, yang pasti saya pikirkan ketika memutuskan terikat disini adalah kehidupan lebih baik untuk keluarga kecil saya. Dan jika untuk mendapatkan yang lebih baik itu berarti saya harus mengabaikan idealisme dan arogansi yang saya jaga selama ini. Akan saya lakukan. Saya harus kuliah. Tentu saja dengan pemikiran baru itu saya telah merusak tujuan mulia yang mayoritas manusia lakukan ketika memutuskan untuk kuliah : menuntut ilmu.  Sekarang ini yang saya pikiran dan butuhkan adalah lembaran kertas penanda khatam pendidikan formal dengan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik di tempat saya bekerja sekarang ini atau boleh jadi menjadikan lembaran kertas itu untuk sebagai kunci mencari sesuatu di tempat lain. Dan Tuhan, maafkan penyimpangan niat saya yang ini. 

Meskipun saat ini saya “diam di tempat” karena aturan main dunia kerja. Saya sama sekali tidak menyesal belum kuliah. Karena bagaimanapun, selama ini banyak juga hal yang saya pelajari yang boleh jadi tidak akan pernah saya temukan dalam buku cetak atau lembaran skripsi yang pernah dibuat. Tentang banyak hal yang Tuhan siapkan untuk kita pelajari.

Tapi boleh jadi beberapa tahun lagi saya akan menyesal ketika harapan saya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik di dunia kerja setelah saya lulus kuliah tidak tercapai hanya karena saya mengabaikan jawaban kedua dari pertanyaan saya di atas tadi. Pertanyan tentang apa alasan orang yang standar atau kurang cakap atau malah bodoh bisa memimpin orang yang mahir dalam segala bidang. Koneksi.

Jawaban kedua dari pertanyaan saya di atas adalah : Sehebat dan sepintar apapun anda di dunia kerja. Setinggi apapun latar pendidikan anda akan dimentahkan oleh sebuah ironi bernama koneksi. Jika sudah begini mungkin bukan saya seorang yang akan menyesal. Boleh jadi semua orang yang cukup pintar akan bersama-sama menyesal (belum) kuliah berjama’ah.

Jika anda pernah atau sedang mengalami ironi bernama koneksi. Selamat anda resmi bergabung di jahanamnya dunia kerja professional.

Menyesal Belum Kuliah Sumber gambar : hdwallpaperspretty.com ; diedit oleh andhikamppp.com

Related Posts

Comments (57)

Seneng sama kalimat ‘Menjadi besar tidak perlu membawa gelar’ 🙂

Hehhe, hatur nuhun kang.

mungkin kalau bisa memiliki keduanya bisa lebih baik ya mas. 🙂

Memiliki keduanya gimana maksudnya mas ??

mungkin koneksi bisa diganti dengan silaturahmi. Semakin sering bersilaturahmi, banyak rejeki 😀
pengalaman sendiri sih, meskipun rejeki tidak selalu identik dengan uang, bisa saja banyak pengetahuan, atau saat kita dalam kesesusahan akan ada pertolongan yang tak terduga karena kita sering silaturahmi 🙂

Sepakat. Silaturahmi memang sangat penting, dan juga bermanfaat. Tapi di dunia kerja, kerap kali istilah silaturahmi kurang tepat. Karena yang dipertimbangkan pertama kali biasanya bukan “kompetensi” tetapi hubungan kedekatan. Kalu kasusnya seperti ini, meski sama-sama berarti hubungan antar personal istilah “koneksi” lebih bisa diterima kan ya ??

Hehehhee

Jadi inget film siapa ya kalo gak salah Raditya Dika. “IPK besar hanya dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak memiliki koneksi”. Kira-kira seperti itu hehe. Tapi, saya baru baca artikel masnya, dan menurut saya, maaf, tidak seperti lulusan SMA. Sudah bagus.

Iya, Mbak. Sebetulnya lulusan SMK. Hehehe

Eh, ada yaa kutipan seperti itu di film Raditya Dika ?? Yang mana ?? Mau nonton ahh nanti.

Terimakasih informasi lombanya. Coba saya pelajari dulu.

Sehebat dan sepintar apapun anda di dunia kerja. Setinggi apapun latar pendidikan anda akan dimentahkan oleh sebuah ironi bernama koneksi. ~~~
Saya setuju kak sama bagian ini, jaman sekarang ini tak peduli akan setinggi apapun latar belakang pendidikan, tapi semua takkan berlaku dengan mudahnya jika sudah berkaitan dengan lapangan kerja. Semuanya dikalahkan oleh koneksi, koneksi orang dalam, koneksi orang tua, dsb

Kamu udah kerja Fan ??

Eh, tulisan ini keliatan banget curhatnya ga sih ?? Hahaha

Kerja = Ada pemasukan
Tak Kerja = Tidak Ada pemasukan

Tapi kalau saya itu, kalo dikata sudah kerja tapi belum kerja, tapi jika dikata tak kerja tapi ada pemasukan. Saya kerjanya di rumah bang, nulis nulis artikel hehe
Kalau kerja secara konvensial, kayak kerja di perusahaan, saya belum kerja. Masih dalam proses pencarian dan pelamaran X)

Iya kak ucha, ini tulisan agak-agak curhat, tapi curhat yang membuat para pembaca “mengamini” dan menyetujui bahwa jaman sekarang kalau mau kerja itu tak butuh keahlian/latar pendidikan yg tinggi, tapi butuhnya itu koneksi orang dalam hahahaha X)

bukan agak-agak, emang curhatt itu. Hahahaha

Kalau misalnya kerjaan kamu sekarang worth buat hidup dan masa depan, yaa pertahanin. Terus jangan lupa bagi-bagi kalau ada peluang 🙂

hahaha ternyata curhat beneran X)
iyabang, bukan masalah layak dipertahankan atau tidak, tapi masyarakat kita itu sudah ada stigma bahwa “bekerja di kantoran” itu bekerja yg sebenarnya. jadi jika bekerja di rumah, mereka menganggapnya pengangguran.
dan jujur saja, aku pun sudah seringkali ditanya orang “kerja dimana?” saya jawab “kerja di rumah” dianya tidak puas akan jawabannya, dan cenderung mencibir ttg pekerjaan saya hahaha dan orangtua trmakan omongan tetangga, bahwa aku ini pengangguran..
makanya aku nyari kerja itu cuma buat ngejawab pertanyaan “kerja dimana?” itu haha ya sambil kerja sampingan nulis2 di rumah

oke bang X)

Mohamad Priatna

Assalaamu’alaikum wr wb
mantap tulisannya dika, kurang lebih yang saya alami juga.
sarannya kata Tuhan ganti saja dengan Allah.
Semua sudah ada jalannya, keep calm, selain usaha keras berbekal kompetensi, mendekatlah juga kepada Sang Pemberi Rezeki yaitu Allah, jangan ragu untuk meminta, karena Allah sangat senang jika hambaNya selalu berdo’a dan meminta membuktikan diri kita tidak sombong karena pakaian kesombongan hanyalah milik Allah.
Wallahu’alam,,,
Barakallahu fikum,,,
semoga andhika dan keluarga berada dalam naungan Allah SWT.

Wassalaamu’alaikum wr wb

Walaikumsalam.

Sehat pri ?? Kerja dimana sekarang ??

Iya, saya menggunakan kata “Tuhan” karena (mungkin saja) pembaca yang datang di blog ini tidak semuanya muslim.

Hatur nuhun sarannya, tentu saja sudah , sedang dan akan dilakukan. Hanya saja, berdoa rasanya kurang pas jika dituangkan banyak-banyak dalam tulisan 🙂

Aminnnn. Kapan kita nongkrong lagi nih

Mohamad Priatna

alhamdulillah sehat,,,
saya dan keluarga di aceh sekarang tepatnya Meulaboh, Kab. Aceh Barat.
hayu nongkrong di meulaboh disini bertebaran warung kopi dan mie Aceh hehehe.
kemarin 2 minggu sempat cuti saya ka Bandung.

kontak Via japri saja om di 082122888627 (telp&WA) / 7d6d2553

🙂

Kuliah atau tidak jika ide dikepala melebihi itu ya lebih lebih dari demikian.

Aku kerja dari dulu emang tekad ga mau pake koneksi dan maunya dengan skill. Haha. Alhamdulillah karena niat baik, ga pernah kehalang masalah koneksi. Cuma ya emang susah mau naik jabatan kalau belum lulus kuliah. Sedih

Lah saya emang masih muda (eh) tapi kenapa gak minat sama kuliah.. sekarang udah kerja, tapi kerjaan malah gak nyaman sama peraturannya, atau mungkin udah bosen, tapi mau resign bingung.

Nyari kerja susah. Jadi kulih apa enggak yah? 😀 #ngikutcurhat

Aku juga belum (selesai) kuliah, mas. Dan aku sering ditemukan dengan hal-hal berbau “koneksi”, tiap ada yg mengajukan, aku slalu tanya dulu mereka tau aku drmana. Karena aku udah pernah tau gimana rasanya tertikam-tikam karena koneksi.

Belum kuliah juga tetap bisa berkarya kok. Jika sampai di satu titik mentok, ya sudah, resign saja. Saatnya menjadi pengusaha.
Suka tidak suka, gelar dibutuhkan dalam dunia kerja. Bukan hanya tampak mentereng di kartu nama atau proposal kerja, tetapi juga berarti sudah melewati candradimuka bernama kampus. Pola otak juga sudah diobok2 dan diarahkan agar mempunyai cara pandang beda.

Bersyukurlah Dika, tanpa kuliah di kampus, kamu belajar di kampus blogger. Kampus yang memaksa kamu terus belajar dan naik semester. Ayo ngampus 😉

Kampus blogger, haha suka sama istilahnya. Iya betul, sepakat. Semoga saja di kampus blogger ini saya tidak di DO suatu hari nanti, dan atau kalau perlu, jangan sampai lulus yaa ?? Agar terus istiqomah di khazanah per-Bloggan

Aku sering juga menemui kak, jabatan tidak sepaket dengan kapabilitas. Gemesnya lagi setelah tahu posisinya didapat karena koneksi.
Duh!

Tapi menurutku kuliah tetap perlu. Meski memang ilmu dari bangku kuliah tidak sebanyak di tempat kerja. Tapi kuliah mengajariku caranya berpikir, caranya menghadapi masalah.
Imho… 🙂

Saya jg blm kuliah. Kalo bagi perempuan, pendidikan itu penting bkn hanya utk dirinya tp anak2nya nanti

Aku punya tagline.
Untuk jadi penulis tidak perlu menjadi sarjana, tapi seorang sarjana harus menulis😂
Karena untuk mampu bersaing bukan hanya dr nilai, tapi juga kemampuan.
Jika keduanya ada, insyaAllah rejeki lebih dilapangkan

Maaf mas bacanya belum selesai soalnya baterai hape dah 6%. Tapi boleh komen ya…

Mending kuliah aja deh mas. Aku dah merasakan manfaatnya kok. Kalau di kuliah kita diajari bagaimana cara berpikir yang logis.

Saya sepakat tentang harus kuliah.

Tapi, untuk berpikir logis ?? Bahkan banyak juga anak SD atau SMP yang bisa berpikir logis. Satu dua malah mungkin bisa berpikir lebih logis ketimbang anak kuliah.

Menurut saya sih.

Silakan dilanjutkan bacanya mas jika berkenan.

Selain kuliah dan koneksi, kalau di bidang kerja ku passion dan skill yang dinilai. Formal sama koneksi kurang di liat 😀

koneksi memang “momok” yag cukup mencekam untuk kalangan yang tak ada ranah ke sana. tak bisa dipungkiri dunia kerja di Indonesia sarat dengan koneksi, si ini dibawa oleh ini si itu siapanya si pemilik saham, begitu saja seperti lingkaran. miris memang tapi kita bisa apa?

tapi koneksi ini bisa dimaknai positif kok. memperbanyak teman dan mempermudah jika kita ingin mengepakkan sayap lebih jauh.

untuk urusan gelar dan kuliah, pada masyarakat awam memang terlihat wah, tapi untuk saya dan beberapa kalangan tentu tidak. toh sekarang banyak “gelar bodong” yang mulai menjamur. banyak orang berlomba-lomba mencari keterangan di belakang nama, demi apa? demi sebuah “kelayakan dalam dunia kerja”. ah miris.

gelar memang menjadi bagian syarat di dunia kerja tapi sejatinya yag membuat bertahan bukan itu, kompetensi, skill, tanggung jawab, dan keberuntungan. iya keberuntungan.

tetap semangat Kak Ucha, semoga segala impian dan cita-cita tercapai :))

aminnn terimakasih Ibu Guru untuk doanya.

ehehhe.

Emmm… kalau mengejar jenjang karir sebagai pegawai negeri, harus kudu wajib membawa gelar. Koneksi pun nantinya akan menuntut gelar, meski hanya sekedar “tempelan” 😀

Tetapi, kalau swasta, kompetensi yang nomer satu. Branding diri nomer dua. Koneksi nomer tiga. Gelar nomer kesekian kali ya? Yang terpenting kompetensi tidak kalah dengan yang memiliki gelar. Hehe

Ehm, tapi mbak, Saya di swasta juga kok.

Cerita saya di atas pun nampaknya lebih banyak menjadi contoh kasus di perusahaan swasta deh, terlebih untuk yang manajemennya belum begitu bagus.

Kalau cerita di atas dijadikan patokan, maka urutannya akan jadi begini

1. Koneksi.
2. Gelar.
3. Kompetensi.

Branding diri ?? Ini bisa berkembang luas jadi konotasi negatif kayanya kalau di dunia kerja. Ehm, di dunia kerja jalan pintas untuk ‘branding diri’ umumnya disebut ‘cari muka’ kan yaa ?? Sepakat ga ??

Tapi kalau branding image yang positif. Dalam suatu organisasi yang adil, dengan kompetensi yang baik pun otomatis akan menambah image yang baik juga.

Hehehehe

Menurut aku pendidikan itu penting banget, tapi belajar itu tidak harus di bangku sekolahan atau kuliah kan? Walaupun, telah berkembang di negara kita, jika kita tidak memiliki title, maka kita hanya akan mendapatkan gaji sekedarnya. Berbeda dengan mereka yang memiliki title lebih tinggi, kadang aku merasa kalau aku udah kerja di situ lebih lama dari orang baru, tapi karena title dia lebih tinggi gaji kami sama. Bahkan aku harus kerja lebih keras untuk mendapatkannya gaji lebih banyak. Kadang di situ saya merasa sedih

Kadang pengalaman bisa mengajarkan lebih daripada saat bersekolah ya masvroh. Tapi ya begitulah sistem perusahaan. Saya aja galau mau sekolah lagi apa ngga. Hehehe

Rencana kerja ?? atau sedang kerja ?? Dalam waktu lama ?? Sebisa mungkin sih, mau ga mau, yaa kayanya lebih baik sekolah lagi mz.

Kalimat-kalimat diatas, membuat saya mengiyakan bahwa itu “aku banget”

Bukan soal sekolah tapi seberapa faham kita untuk mampu bersaing dengan kokoh dengan para expert di bidang yang lebih tinggi

*kembali ke sekolah alam 😀

Terimakasih Kak, tulisannya memberikan pandangan baru :))

Kalau pendapat pribadi Ku sendiri, pendidikan memang sangat penting. Karena mengenyam pendidikan lah kita bisa menggali Ilmu, dan karena pendidikan juga kita bisa membangun koneksi :))

Pendidikan juga kan yang dipercaya sebagai salah satu alat menekan kemiskinan :))

Semangat Mas Dika! Dalam postingan ini ada beberapa cr pandang yg saya sepakati,tp ada jg yg agak kurang setuju tentang memandang pendidikan

Saya juga lulusan SMA, sy memang menyesal tdk kuliah padahal ada kesempatan. Tempat sy bekerja kebetulan test masuknya ketat bahkan utk menjadi pimpinan harus mengikuti serangkaian test yg panjang dan transparan, Jd nggk semua tempat kerja hanya mengandalkan ijazah dan koneksi 🙂

Koneksi….iya, akupun merasakan waktu diajak magang di kantornya kakakku (padahal jurusan sama kerjaan nggak ada hubungannya. Hahaha), jadi memudahkan juga sih.

Tapi…koneksi juga bisa didapat di perkuliahan lho, Kak. Mengakrabkan diri dengan dosen, dengan teman-teman dengan baik nanti bakal dapet koneksi kalo kita termasuk orang yg bisa dipercaya. Asal bukan tipe orang yang menjilat aja sih ya. Hahaha. Jadi, kuliah nggak melulu soal buka buku, belajar, bikin tugas, masuk kelas, skripsi. Kuliah juga bisa mengembangkan kehidupan sosial kita, cara berkomunikasi, cara berpikir, cara survive dengan orang-orang baru, dll. Jadi lumayan pentinglah kuliah itu. 😁

Kalau menurutku ijazah kuliah itu cuma berperan sebagai penunjang jabatan, paling penting dari sebuah pekerjaan adalah skill dan didukung dengan koneksi yang luas.

Kuliah itu perlu atau ngga perlu kok menurutku, tergantung dari bagaimana cara kita berpikir,
Karena kalo kata dosenku sendiri, mending softskill kamu yang diasah, drpd sekedar nilai mata kuliah.

belum selese kuliah dan alhamdullah pekerjaan yg sekarang sesuai dengan passion. jadi syukuri saja yg di dapat sekarang… hehehhe

Yup, connection & friends are really matters in workplace
Nice post, ka.

Ya… guepun kemaren kuliah lagi, padahal udah bekerja biar bisa ngelamar di pekerjaan yg gw mau sih.

Sejak jaman order baru Koneksi atau nepotisme sudah menjadi adat di negeri ini.

Blog yang keren mas bro..salam kenal, oya sy tau blog mas dr mojok wkwkwk, mampir ke blog sy klo berkenan, salam

gue suka istilah adityamulya, bahwa pendidikan itu tetep adalah tiket untuk masuk ke dunia kerja. tapi kalo kata diri gue yang juga minoritas. gue selalu mempertanyakan satu hal. ketika ingin melakukan pemberontakan

“sebenernya ini worth it ga sih?”

semangat bos.

Kuliah saja, Mas. Kuliah banyak manfaatnya, kita akan mengenal banyak pemikiran sehingga meluaskan wawasan, memperkaya nalar, memperkaya sudut pandang. Ujung-ujungnya kita bisa beradaptasi dg lingkungan seekstrim apapun dan keluar sbg pemenang. Sy jg seorang lulusan SMA, ditempat kerja saya SMA gak ada masalah. Sy pun jg kuliah, awalnya utk meraih lebih baik, tp ternyata dapetnya lebih dari itu.

Aduh tulisannya kang, kena banget ke hati 😀
Sebenarnya kebanyakan sekarang malah orang-orang yang berpendidikan tinggi itu kurang silaturahmi (koneksi) hanya memikirkan kuliah saja dan permasalahan dunia itu hanya memikirkan kuliah saja tanpa memikirkan dunia luar. Yang akhirnya kurang koneksi, setelah lulus kuliah yang ada malah mereka bingung untuk kerja

Terimakasih mas, akhirnya menjadi pembelajaran untuk saya. Ya, untuk mempersiapkan diri ke dunia kerja, akhirnya saya tahu apa yang harus dipersiapkan. Sangat membantu sekali mas.

Saya juga mengalaminya, ketika kuliah tidak lagi karena mencari ilmu tapi untuk selembar kertas ijasah… Hehe demi memuluskan dlm mencari kerja.

Kehidupan adalah universitas sesungguhnya, mas…

Meski banyak S1, tapi sikapnya bukan S1.
Pendidikan sesungguhnya adalah menjadi manusia yg bijak.

Salam hangat,
Salam kenal.
Salam sesama pribadi introvert.

Kuliah itu susah, sehingga tidak heran ketika masuk dunia kerja kesannya “tanpa kerja keras” sudah menduduki tempat yg tinggi. Ya karena mereka sudah susah payah menghabiskan waktunya selama 3-4 tahun utk menyelesaikan kuliah. Adil sih menurutku.

Dan organisasi ndak hanya butuh pekerja tapi juga pemikir dan risk taker.

Ah, koneksi. Dunia memang kejam ya.

Kalau saya memang menyesal belum punya koneksi karena terdidik seperti anak rumahan, meski sudah jadi sarjana ilmu komunikasi*

Leave a comment