Cerita ini dimulai saat matahari mulai tenggelam dan senja datang membawakan banyak sekali cerita. Sunyinya taman kota membuat suara ayunan yang berisik menjadi jelas setiap kali ia berdenyit. Satu persatu orang mulai pergi meninggalkan tempat itu, semakin sepi saja, menyisakan anak kecil yang termangu duduk sendiri di ayunan yang nyaris tak bergerak tepat di tengah taman kota. Ia mulai terisak di saat air matanya belum sempat jatuh. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada itu. Tangis yang tak dibarengi oleh air mata. “Ayah” ia berucap pelan, memanggil sosok yang amat ia rindukan. Matahari sudah hilang sempurna. Langit menjadi gelap, plang Taman kanak-kanak Tadika Puri di seberang taman kota sudah tidak terlihat. Sudah lebih dari tiga jam ia menunggu disana, untuk anak seusianya ini sudah berlebihan. Tapi bagaimanalah, paman tak bisa menjemput tepat waktu, dipaksa kerja lembur.
Dari langit hujan datang beriringan, tak terlalu banyak namun cukup membuat anak itu basah kuyup. Ia tak peduli, karena di tengah taman kota, paman akan mudah menemukannya dan ia percaya paman akan segera datang. Benar saja, sebelum adzan Isya berkumandang paman datang tergesa-gesa, memeluknya erat merasa berdosa membiarkan anak sekecil itu menunggu lama di tengah hujan. “Maafkan paman datang terlambat, Wibi”.
Cerita ini tentang Wibi, yang ditinggal ibu sebelum ia sempat mengenalnya. Beberapa saat setelah Wibi lahir ibu mengalami pendarahan luar biasa. Ayah melakukan segalanya untuk menyelamatkan ibu kala itu, termasuk berhutang banyak sekali. Percuma, Wibi yatim di hari kedua belas ia berteman dengan dunia. Ayah berhenti bekerja setelah itu tanpa sedikitpun persediaan tabungan. “Kamu yakin, Bang” kata paman saat itu. Ayah mengangguk mantap. “Aku telah berjanji untuk menjaga dan memastikan anak itu tumbuh sempurna. Jika itu berarti aku harus mengorbankan seluruh waktu, tenaga dan pikiran yang aku punya, akan aku lakukan. Meskipun sebenarnya itu tidak bisa menggantikan waktu satu hari anak itu bersama ibunya”. Maka ayah, sejak saat itu, berperan juga sebagai ibu. Wibi kecil begitu dekat dengan ayahnya. Ia tumbuh menjadi anak yang pintar, lucu dan periang. 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu ayah selalu ada, memberikan gizi dan asupan terbaik, mengajarkan dan bercerita apa saja. Bagian paling menyenangkan dan paling ia sukai adalah ketika ayah bercerita tentang ibu sebagai pengantar tidur. Wibi yatim di hari kedua belas ia berteman dengan dunia, oleh karena itulah ayah selalu bercerita tentang ibu. Agar kelak di alam mimpi, Ibu bisa bermain, bercerita dan menjaga Wibi sampai ia kembali terjaga.
Sampai Wibi berusia tiga tahun. Setelah ia sangat mengenal dan bergantung pada ayahnya, cerita ini berubah menjadi menyedihkan. Tak ada lagi cerita tentang ibu sebagai pengantar tidur. Ayah harus pergi ke negeri seberang mencari uang. Harta bendanya sudah habis dijual untuk membayar hutang dan juga menyambung hidup. Keputusan yang sulit. “Aku akan menjaga Wibi. Abang bekerjalah dengan tenang” paman mengucapkan itu di hari keberangkatan ayah. Ayah tersenyum, memeluk paman penuh penghargaan. Kemudian tatapannya beralih, air matanya tak terbendung tak kuasa meninggalkan Wibi untuk waktu yang lama. Itu pertama kalinya ia berjauhan dengan ayah. Wibi menangis sejadinya. Ayah pergi bersamaan dengan sifat Wibi yang periang. Setelah ini yang akan kita temukan adalah Wibi yang selalu menyendiri, yang selalu merindukan waktu ayahnya pulang.
Satu tahun pertama setelah kepergian ayahnya menjadi tahun yang sangat berat untuk Wibi. Pamannya yang harus bekerja terpaksa mempekerjakan asisten rumah tangga untuk menjaga Wibi di rumah. Beruntung, Bi Inem termasuk orang yang cakap dalam menjaga anak kecil. Untuk urusan menjaga, ia nyaris sempurna. Tak sedikitpun urusan fisik Wibi terlewatkan. Paman sering memberikan bonus tambahan untuk Bi Inem. Tapi hanya sebatas itu, bagaimanapun sempurnanya Bi Inem tak pernah mampu untuk menenangkan apalagi menyenangkan. Bi Inem atau paman sekalipun tak pernah mampu membuat Wibi tertawa seperti yang biasa ayah lakukan. Wibi kehilangan sifat periangnya. “Sabar, Jagoan. Tak lama lagi ayahmu pulang” hanya itu yang kerap terlintas dari mulut paman setiap kali Wibi menangis. Sesekali rindu itu terobati lewat panggilan telfon, Wibi tentu mengharapkan lebih dari itu. Setahun setelahnya Bi Inem berhenti. Wibi sekolah di Taman Kanak-kanak Tadika Puri, satu arah dengan tempat paman bekerja.
“Paman, sudah datang??” suara Wibi terdengar begitu parau. Paman mengangguk, mengajak Wibi pulang. Digendongnya Wibi ke atas sepeda motor, demi melihat wajah Wibi yang pucat paman memacunya motornya kencang. Benar saja, sesampainya dirumah badan Wibi panas. Mustahil mengajak Wibi ke dokter dengan hujan yang semakin deras. Paman menjaga Wibi sepanjang malam, sepanjang malam itu pula Wibi terus menginggau memanggil nama ayah.
Paman mengambil cuti keesokannya. Kondisi Wibi belum membaik, begitu pula dengan cuaca di luar. Sedari malam sampai sore ini langit ikut menangis melihat Wiby seperti itu. Jadilah paman menelfon banyak sekali dokter, mencari yang tercepat untuk datang. 4 jam, yang berarti jam 7 malam dokter baru bisa datang. Wiby masih memanggil nama ayahnya. Sesekali ia menangis, melampiaskan rindu lewat air mata. “Ayah mana, Paman?”. Paman getir dibuatnya, diangkatnya lagi gagang telfon. Menelfon ayah. Percuma, beberapa minggu ini ayah tidak bisa dihubungi. Jam 8 tepat. Sudah lewat dari jadwalnya, tetapi dokter belum juga datang. Wajah Wibi semakin pucat, lebih dari 24 jam ia tidak makan -yang ia makan dimuntahkannya kembali.
Bel berbunyi. Paman bergegas membuka pintu. Pintu terbuka dan paman terkejut bukan main. Lihatlah siapa yang datang?? Lelaki yang basah kuyup dengan tas besar yang ditarik. “Abang !!!??” paman loncat memeluk ayah, tidak terlalu lama, waktunya tidak tepat. Ia menjelaskan kondisinya. Ayah bergegas kedalam kamar. Memeluk Wibi dengan erat, lalu menangis, meluapkan rindu dan penyesalan. “Maafkan ayah, Nak”.
“Ayah !!!???” Wibi berteriak hampir tersedak. Yang dirindukan telah datang. Dipeluknya juga ayah dengan erat. Mereka larut dalam tangisan rindu, lewat pelukan itu mereka bercerita tanpa kata, banyak sekali.
“Ayah pulang, Nak” ayah melepaskan pelukannya. “Maafkan ayah tak memberi kabar lama sekali, ayah ingin memberi kejutan” dikeluarkannya sebuah kotak besar yang sudah basah. “Selamat ulang tahun, Nak. Kau sudah besar sekarang dan mulai malam ini ayah akan selalu ada untuk melihatmu terus tumbuh besar. Ayah tak akan pergi lagi” mendengar itu Wiby kembali menangis kencang. Kali ini berbeda, air mata yang turun adalah air mata bahagia. Malam itu, semua rindu dibayar dengan akhir yang menyenangkan.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun ke lima Warung Blogger.
Emang formatnya cerita pendek ya kak?
Haha engga juga. Cuma lg belajar nulis cerita aja 🙂
Ceritanya mau lagi dong, nambah lagi dong
Wibi = webe
Hmmmm
Berakhir bahagia 😃😃
seorang ayah yang rela melakukan apa saja demi sang buah hati yang di lahirkan oleh ibunya. perjuangan sekali kedua orang ini. bagus ceritanya gan
aih bang admin wb ini tulisannya menarik sekali. mengemasnya, nulisnya mengalir..hehe
Wah aku pikir ultahnya wb harus tulisan tentang perjalanan wb dari masa ke masa, makanya aku gak ikutan…
Kalo ternyata tentang ulang tahun, tahu gini kemaren aku ikutan lombanya -__-
Ya ampun penyesalan memang datangnya selalu terakhiran
Loh, di websitenya kan sudah cukup jelas fan ?? Hayoo ga teliti bacanya yaa.
Cerita nya mantaph ni..
Kalau soal cerpen, Mas Dika pasti jagonya, saya sedih loh pas akhir cerita, hiks hiks.
Entah kapan bisa bikin cerpen seperti ini, hmm
Masih banyak yang lebih jagooo ihh. Saya masih belajar juga kok ini, mari kita belajar sama-sama 🙂
Rindu yang tersampaikan, itu memang manis 🙂
cerpennya keren mas dan diakhir ceritanya sedihnya dapet 🙂
Ayah, bagian terpenting dalam kehidupan selain Ibu.
Ayah, pusat keluarga.
Pedih jadi wibi. Jadi aku juga pedih😂😂 sempet gak kenal ottu pas mereka pulang prajabatan wkwk
Jdi keinget anak kecil yg ditinggal Ibunya merantau, nggak pulang2 hwaaa
Terharu sekali bacanya, Kak.
Aahhhh kisah tentang Keluarga, apalagi kisah seperti ini selalu membuat haru 🙁
Ceritanya bagus, suka dan pas porsinya. Keren 😀
Wah. Bisa jadi cerpen nih. Klo nyambung terus sebentar lagi jadi novel. Luar biasa ya mas 😄😄😄 salut
Jadi ayahnya wibi, siapa mas andhika? :’D
Kalo ga baca komen, mungkin ayi gagal fokus dengan tulisannya. Hahaha. Selamat ulang tahun, wb! Semoga kau selalu bahagia!
Ayahnya, yaa, ayahnya. Yang pulang di akhir cerita 🙂
Saya tidak memberi nama untuk karakter ayah.
Wah, berarti saya harus lebih banyak belajar untuk memberikan cerita yang lebih jelas. Terimakasih Mbak Ayi
Aku udah deg2an khawatir endingnya wibi meninggal & ayahnya menyesal. Alhamdulilah, cerita pendek dg happy ending. Selalu suka cerita begini. Kerja keras paman dan ayahnya tidak sia-sia. Hehe
Eh, tapi kalau adik ayah bukannya om ya? Kalau paman itu kakaknya ayah. Sedangkan di cerita, paman memanggil “ayahnya wibi” abang. Berarti adiknya ayah wibi kan? Emmm…
Wah, terimakasih sudah sangat detail dalam membacanya. Penggunaan “Paman” atau “Om” boleh kok, pengertiannya lebih kurang sama.
Menurut KBBI :
paman/pa·man/ n 1 adik laki-laki ayah atau adik laki-laki ibu; pakcik; 2 sapaan kepada orang laki-laki yang belum dikenal atau yang patut dihormati;
om2 n cak 1 kakak atau adik laki-laki ayah atau ibu; 2 panggilan kepada orang laki-laki yang agak tua.
Tergantung dari kebiasaan saja. Kalau di tanah sunda, kakak laki-laki dari ayah atau ibu biasanya disebut “uwak”.
Wibi pasti senang sekali ya. Apakah ini pengalaman pribadi atau orang terdekat?
Mas, kalau ibunya meninggal namanya piatu.
Bukan pengalaman pribadi sih, Mbak.
Pengalaman kerabat yang saya modifikasi waktu, dan plot ceritanya 🙂
Iya, semula saya juga menuliskan “piatu” tapi setelah cek di KBBI saya menemukan poin berikut :
yatim/ya·tim/ a tidak beribu atau tidak berayah lagi (karena ditinggal mati);
— piatu sudah tidak berayah dan beribu lagi
Mungkin karena kebiasaan penalaran ya mbak. Dari KBBI berarti seharusnya kita tidak perlu menyebutkan yatim piatu untuk mereka yang tidak memiliki kedua orang tua. Cukup Piatu saja.
Ow jadi Wibi itu Webe? 😀 selamat ulang tahun WB.
Plot ceritanya tenang, tapi malah deg-degan pas di akhir cerita Kang andhika 😀
Astaga, serius sampai deg-degan ?? Terimakasih sudah sampai begitu menghayati ceritanya.
Selamat ulang tahun, Wibi!
Menarik kak ceritanya, kisahnya membuat haru bagi yang membacanya.
Baru nyadar kalo wibi tuh webe. Wkwkwkw
kurang panjangggggggggggggg
Maksimal 1000 karakter Ben :'(
Ahhh.. kalimat ini “Abang !!!??” paman loncat memeluk ayah, tidak terlalu lama”.. bikin hati saya trenyuh bacanya..
Hiks, jadi pengen pulang ketemu papa :'(
Ceritanya bagus mas, ngena banget di hati. 🙂
Jadi, nama nama anaknya Wibi apa Wibby, nih? 😂😂😂
ahh, terimakasih sudah begitu detail, sudah saya betulkan ejaannya 🙂
isi cerita yang sederhana dikemas dengan bahasa yang menarik 🙂 ,, saya suka saya suka
rena
Huhuhu…saya baru baca kisah Wibi yang menyedihkan… Walau tak ada ibu, untung ayah sosok yg sangat bertanggungjawab yaaa