Scroll Top

SAAT ELANG IBU KOTA MENOLAK MAINSTREAM

“Bagi Lazio dan Laziale ini lebih dari sekedar perebutan gelar juara, ini soal harga diri La Prima Squadra Della Capitale yang berarti Klub pertama ibu kota”

Apa yang terlintas dibenak Anda ketika mendengar nama Societa Sportiva Lazio atau biasa disingkat SS Lazio atau jika mau lebih singkat, sebut saja Lazio? Sederet pemain mega-bintang di era 90-2000 yang berhasil menahbiskan Lazio sebagai Raja Eropa di tahun 1999/2000 kala bersua Manchester United di ajang Piala Super Eropa kah? Ya bisa saja. Lebih dari satu dekade yang lalu, nyaris semua klub Serie A akan tunggang-langgang ketika berhadapan dengan Lazio, ibarat kata Lazio adalah dream-team di eranya. Bahkan hingga saat ini saya menulis, belum saya temukan dream-team seperti Lazio. Ambil saja contoh kecil dari transfer brutal Manchester City dan Real Madrid, demi membangun dream-team kedua klub ini tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana yang cukup jika ingin membentuk satu klub baru divisi 3 – bahkan Liga Super Indonesia – Laziale (sebutan fans Lazio) pun akan setuju jika Sergio Cragnotti adalah Presiden klub terbaik dunia.Cragnotti berhasil membangun dan menerbangkan Elang Ibu Kota untuk terbang bebas dan tak akan pernah lagi menginjakan kakinya ke tanah, layaknya Florentino Perez di Real Madrid, begitu pula yang dilakukan oleh Cragnotti. Belanja pemain dengan skala cukup besar, Christian Vieri, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron pun di datangkan. Jelas, bahwa Cragnotti tak ingin setengah-setengah dalam merombak skuat Lazio menjadi klub yang benar-benar ditakuti seantero Eropa, terlebih dengan rival abadi kota, AS Roma. Hasilnya pun terbilang sukses besar karena dominasi Lazio di papan atas klasemen Liga Italia, hingga akhirnya membawa Lazio menjadi tim pertama asal kota Roma yang berhasil menjuarai kompetisi Eropa.

Lalu bagaimana dengan rival abadi mereka, AS Roma di kancah Eropa? Mungkin fans Manchester United bisa menjelaskan itu semua.

Entah ini ulah prediksi absurd Suku Maya yang memprediksikan tentang akhir zaman atau rekayasa sepakbola dan pemerintah Italia, tahun 2002 adalah akhir dari misi mulia Cragnotti bersama Lazio. Ya, Cragnotti harus rela meninggalkan jejak pantatnya di kursi VVIP stadion Olimpico karena masalah financial bersama Cirio yang notabene juga sponsor Lazio. Mungkin, bagi sebagian Laziale ini adalah akhir zaman Lazio di kancah sepakbola. Dan bersamaan dengan kasus financial itu, Lazio rela menjual pemain-pemain mega-bintangnya demi menyelamatkan keuangan tim. Mereka pergi bersama ribuan harap Laziale seluruh dunia akan kesuksesan Lazio di kancah sepakbola dunia.

Mau tak mau Laziale harus benar-benar iklhas mengubur dalam-dalam impian tersebut, Lazio harus siap menerima ayah angkat baru mereka, entah siapa, darimana dan bagaimana gestur wajah Presiden baru mereka ketika Lazio kalah, hingga akhirnya Claudio Lotito datang bak malaikat kesiangan yang mengumbar segala janji manisnya akan kesuksesan Lazio bersama Cragnotti. Lotito? Ah, kami tak mengenal dia. Mungkin ini jawaban pragmatis yang dilontarkan Laziale pada saat pertama kali mendengar dan mengetahui Claudio Lotito adalah Presiden klub baru Lazio. Layaknya langit dan bumi, begitulah kira-kira track records Lotito dan Cragnotti di Lazio. Tak ada yang bisa diharapkan terlalu tinggi dari seorang Lotito, selain menjadi juara Coppa Italia di tahun 2009 dan 2013. Ada satu hadiah terbesar yang diberikan Lotito bagi Laziale dan para ribuan ekor Elang yang tersebar di seluruh dunia, ya pasalnya selain berhasil menjadi juara Coppa Italia 2013, Lazio juga berhasil mengalahkan rival mereka, AS Roma di Final. Sejarah menulis bahwa ini adalah pertama kalinya Derby Della Capitale terjadi di Final. Siapapun yang menang, dia akan tertawa bahagia dan dia yang kalah harus rela menahan malu, bahkan hanya untuk sekedar keluar rumah menggunakan jersey AS Roma pun mereka malu.

Bagi Lazio dan Laziale ini lebih dari sekedar perebutan gelar juara, ini soal harga diri La Prima Squadra Della Capitale yang berarti Klub pertama ibu kota. Dengan keberhasilan ini seraya rakyat utara ibu kota melupakan siapa Lotito serta visi kedepannya bersama Lazio. Curva Nord ibu kota tengah sibuk mabuk-mabukan di bar dan mencorat-coret dinding sekitaran jalan protokol ibu kota agar Romanisti (sebutan fans AS Roma) bisa membaca sindiran itu. Bahkan hingga detik ini saya menulis, masih berkeliaran sindiran-sindiran yang bermaksud sekedar mengingatkan bahwa di tanggal 26 Mei 2013, ada sebuah peristiwa yang tak akan hilang terkikis masa. Kita tak bisa menganggap itu adalah hal yang biasa dalam sekat sepakbola, Italia dikenal dengan kelompok suporter yang anarkis, kreatif dan rasis dan ini juga berlaku bagi Lazio dan AS Roma.

Kesuksesan di Coppa Italia rupanya berhasil membuat Lazio terlena dan lupa akan performa klub di musim depan. Sebelum sukses menjuari Coppa Italia, Lazio bertengger di posisi 7 klasemen akhir Liga Italia, bahkan di awal musim Lazio menjadi capolista sementara hingga akhirnya Juventus, Napoli, AC Milan, Udinese, Fiorentina, AS Roma berhasil menembak Elang yang sedang asiknya terbang. Faktor yang paling mencolok adalah labilnya performa klub dan badai cidera yang menimpa Lazio, tanpa persiapan amunisi yang sesuai dengan pemain kunci, Lazio rela mengarungi ketatnya Liga Italia dengan skuat pas-pasan. Bahkan striker sekelas Louis Saha didatangkan demi mem-back up Miroslav Klose yang di vonis nyaris 3 bulan tidak bisa bermain. Ini adalah ujian maha-berat bagi Lazio, meskipun terkatung-katung di Liga Italia, rupanya Lazio mematok target cukup tinggi yaitu masuk Final Coppa Italia. Hasilnya pun sukses meskipun masih adanya lubang yang sekiranya segera di tambal oleh Petkovic dan Lotito.

Tahun dimana Lazio berhasil mengalahkan AS Roma di Final Coppa Italia telah berakhir, dan sesegera mungkin Lazio harus kembali memikirkan bagaimana cara menutupi lubang itu. Nampaknya Lotito juga memikirkan dan merasakan ada yang ganjil dari skuat Lazio, hingga akhirnya Lotito mengeluarkan kebijakan transfer brutal dan memberik sinyal bagi Petkovic membeli pemain siapapun yang sesuai dengan kebutuhan klub agar ke-tidak stabilan musim lalu tak terjadi kembali. Cukup sampai musim lalu saja Lazio mengalami masa krisis. Sejumlah pemain antah-berantah pun didatangkan Igli Tare dan Petkovic ke Olimpico, bahkan Lazio rela bersusah payah demi membeli pemain sekelas Felipe Anderson yang merumput di Santos bersama Neymar. Felipe Anderson hanyalah anak kemarin sore yang tak sengaja satu klub bersama young star yang menjadi banyak incaran klub papan atas Eropa, Neymar. Bahkan Anderson datang ke Lazio dengan kondisi cidera. Selain Anderson, ada nama Lucas Biglia, Diego Novaretti dan Brayan Perea yang berhasil didatangkan Lazio.

Bandingkan dengan AS Roma yang berhasil mendatangkan Maicon, Gervinho dan memilih Rudi Garcia sebagai pelatih baru mereka. AS Roma belajar dari Final Coppa Italia musim lalu, dan hingga pekan ini AS Roma belum terkalahkan dan hanya kemasukan 1 gol. Superior. Jika di sejajarkan dengan Lazio, jelas Lazio kalah telak dari AS Roma, bahkan Lazio harus puasa 5 pertandingan untuk meraih 3 poin hingga akhirnya Cagliari yang menjadi pelepas dahaga Si Biru Langit. Terlepas dari AS Roma, Lazio juga kalah persiapan dibanding pesaing-pesaingnya, lihat saja Fiorentina dan Napoli yang benar-benar ingin memproyeksikan diri sebagai dream-team. Lalu bagaimana dengan Lazio? Apakah Lazio akan bertahan dengan ideologi “non mainstream” hingga akhir musim nanti? Coba Anda tanyakan pada Igli Tare dan Claudio Lotito.

Related Posts

Leave a comment