Scroll Top

PESAN CINTA LEWAT SEPAKBOLA

” Saya jangan diganggu dulu. Saya siap miskin untuk negara ini.”

Beberapa waktu lalu, di twitter kalimat tersebut sempat menjadi bahasan utama, seperti yang kita tahu kalimat tersebut disampaikan oleh bintang muda sepakbola Indonesia, Evan Dimas Darmono ketika ditawari menjadi bintang iklan di salah satu produk dengan bayaran cukup tinggi. Yaa seperti yang kita tahu, prestasi Timnas Indonesia U-19 memberikan “efek bintang” terhadap para pemainnya, terlebih kepada Evan Dimas selaku kapten dan kerap menjadi penentu kemenangan tim.

Sepakbola, dewasa ini telah menjadi komoditi bisnis yang luar biasa besar dari pasar kecil, sampai industri besar banyak yang mulai menggunakan sepakbola sebagai media promosinya, hal itu tentu saja berimbas pada para pelaku sepakbola baik pelatih pemain terlebih kepada klub itu sendiri. Tapi ternyata tidak semua para pelaku sepakbola sudi untuk “mengorbankan sepakbolanya” demi secuil materi, dia lebih memilih untuk fokus pada apa yang dia bela, yang dilakukan Evan itu merupakan contoh kecil.

“Diluar” sana Evan bukan satu satunya contoh dalam hal itu …

Tentu saja salah jika kita bertanya tentang rasa cinta dan loyalitas pada Zlatan Ibrahimovic atau Nicolas Anelka, bertanya tentang “bahwa sepakbola itu lebih penting daripada uang” kepada Radamel Falcao pun bukan pilihan yang tepat. Tapi silakan bertanya dua hal tadi kepada Ryan Giggs, Paolo Maldini, Steven Gerrard atau Francesco Totti. Mereka semua adalah pemain yang bersedia menghabiskan karir sepakbolanya untuk satu klub saja, Tawaran besar dari klub besar ?? Banyak, tapi mungkin mereka tak bisa menemukan alasan yang lebih baik untuk meninggalkan klub yang membesarkannya, tempat darimana mereka berasal. Gelar ?? Lupakan Nama Giggs dan Maldini (yang selama karirnya memang mendapat banyak gelar), silakan belajar pada Francesco Totti yang selama karirnya menjadi “pangeran roma” hanya mendapat 1 gelar prestisius dengan menyabet scudetto pada tahun 2001. Gerrard ?? sedikit lebih baik dengan mendapat UEFA Cup (Europa League) dan UEFA Champions League, tapi tetap saja dengan tidak mendapatkan gelar Liga Inggris, prestasi Gerrard belum lengkap, setidaknya itu yang dikatakan media di Inggris.

“When I die, don’t bring me to the hospital. Bring me to Anfield. I was born there and will die there.”

Steven Gerrard.

Atau lebih hebat lagi, sepakbola bisa memberi “cinta” kepada para pelakunya, tak peduli darimana dia berasal, tengok perjalanan Javier Zanetti di Inter atau Frank Lampard di Chelsea, kedua pemain tersebut bukan pemain didikan klub asli, Lampard berasal dari akademi West Ham, sedangkan Zanetti berasal dari negri yang jauh dari Italia, mereka datang, besar dan menjadi ikon di klub “baru” nya. Setali tiga uang, awal karir Zanetti dan Lampard tidak langsung mulus dengan mendapatkan trophy bergengsi, tapi kesabaran, rasa cinta dan kesetiaan mereka berbuah hasil dengan gelar demi gelar yang mereka raih saat ini.

“You can win, lose, have many trophies but when football is over, what remains is only you as a person.”

Javier Zanetti.

Seperti apa yang diucapkan oleh Zanetti, setelah sepakbola usai, yang akan diingat saat semuanya telah berakhir adalah kualitas sebagai seorang manusia, Evan Dimas memposisikan dirinya sebagai manusia berkualitas dengan mengedepankan apa yang “harus dilakukan” ketimbang menerima apa “yang bisa didapatkan” . Jauh sebelum itu, Giggs, Maldini, Gerrard, Totti, Zanetti, Lampard atau pemain lainnya, yang telah melakukan hal yang sama. Sepakbola bukan melulu soal uang, tawaran menggiurkan bisa ditolak dengan cinta dan kesetiaan, pada sepakbola, pada panji yang ia bela, atau pada mimpi dan harapan sebagai seorang manusia.

Tak banyak memang para “idealis sepakbola” yang bersedia menafikan harta demi cinta nya pada sepakbola, tapi jika ada, maka mereka lebih dekat dengan sebutan legenda.

Related Posts

Leave a comment